Jurnal Refleksi Design Thinking
JURNAL
REFLEKSI
SEMINAR
PPG
Oleh
: Nafisah Falcata Devy
221135332
Nama
Matakuliah |
Design Thinking |
Review pengalaman belajar. |
Topik 1. Design Thinking dan Pembelajaran yang Berpusat
pada Peserta Didik Pada topik ini mempelajari tentang pengertian dari Design
Thinking. Design Thinking merupakan pendekatan integrative untuk
pemecahan masalah. Design Thinking berorientasi pada pengguna dan
menekankan pada empati. Dalam Design Thinking terdapat usaha untuk
membuat ide menjadi konkret yang terdiri dari siklus-siklus iterative, perlu
memiliki keanekaragaman partisipan, menciptakan ruang kerja yang kolaboratif
dan kreatif, menggabungkan analisis dan analisis sintesis. Sebagai metodologi atau kerangka berpikir, Design
Thinking memiliki fitur-fitur khas yang membedakannya dengan pendekatan
pemecahan masalah lain, diantaranya 1)Fokus mendefinisikan kebutuhan pengguna
sebelum mencari solusi, 2)Terbuka terhadap hasil akhir yang tak terduga,
3)Menerima ambiguitas atau ketidakpastian, 4)Berpusat pada manusa, 5)Proses
reflektif untuk meningkatkan pemahaman kontekstual dengan empati sebagai
dasar pemahaman. Pengalaman selanjutnya yang dipelajari dari topik ini
yaitu adanya 5 proses dalam Design Thinking yang dikemukakan oleh
David Kelley, pendiri dari IDEO dan Stanford School of Design Thinking,
yaitu : 1.
Empathize-Membangun Empati Pada fase ini, perancang perlu
membentuk pemahaman mendalam terhadap karakteristik dan kebutuhan pengguna
produknya. 2.
Define-Merumuskan Tujuan Setelah mendapatkan pemahaman mengenai
kebutuhan spesifik pengguna, fase selanjutnya adalah merumuskan tujuan
perancangan. Teknik perumusan tujuan dalam Design Thinking juga
menggunakan prinsip empatis; di mana pengguna dan aspirasi/kebutuhannya
dinyatakan secara spesifik dalam rumusan. 3.
Ideate-Ideasi, Menciptakan Solusi Proses mencipta ide untuk
memunculkan sebanyak mungkin ide solusi baik secara jumlah maupun variasi
serta menunda pemikiran kritis-analitis yang cenderung ‘membunuh’ ide-ide
baru yang berpotensi menjadi inovasi. 4.
Prototype-Mengembangkan Prototipe Fase prototipe merupakan waktu
bagi perancang untuk mewujudkan ide dalam bentuk model yang menunjukkan
fitur-fitur dari solusi, digunakan untuk menguji dan memvalidasi ide secara
cepat serta murah sehingga perancang dapat melakukan perbaikan terhadap
produknya sebelum benar-benar diproduksi. 5.
Test/Evaluate-Menguji coba Prototipe Uji coba adalah fase penting dalam
Design Thinking, karena di sinilah ide solusi perancang (yang sudah
berwujud prototipe) diperiksa efektivitasnya. Uji coba memungkinkan perancang
menemukan kekuatan dan kelemahan dari idenya, juga mendapatkan umpan balik
dari pengguna rancangannya. Kelima
fase ini tidak harus dilakukan secara berurutan; sebaliknya perancang dapat
memulai dari fase manapun, bergerak maju, mundur, bahkan melompati fase
sesuai kebutuhan proses. Pengalaman belajar lainnya yang dipelajari dari topik ini yaitu tentang Hadiah Untuk Kawan. Dalam materi ini, mahasiswa diberikan tugas untuk melakukan kegiatan merancang hadiah untuk teman. Mahasiswa bekerja sama dengan kelompok untuk membentuk peran sebagai klien, pemimpin proses dan perancang hadiah. Melalui beberapa fase yang telah ditentukan, mahasiswa merancang hadiah denagn cara melakukan wawancara dengan klien. Melalui wawancara yang dilakukan, kemudian perancang membuat rancangan hadiah berdasarkan klue yang diberikan klien. Hasil rancangan akhir inilah yang kemudian akan menjadi rencana hadiah yang akan diberikan kepada klien. Topik 2. Fase Empathize: Menggunakan Empati untuk Membangun
Pemahaman Ketika kita bicara tentang emapti pada Design Thinking, kita sedang berbicara bagaimana kita dapat memahami kebutuhan dan motivasi pengguna. Pada topik 2 ini, pengalaman belajar yang dipelajari dari topik ini yaitu dalam melakukan in-dept interview. 1.
Strategi
Pengambilan Sampel (Extreme and Lenses) Hal yang dipelajari yaitu tentang
strategi pengembangan sampel. Extremes and Lenses ini termasuk
strategi pengambilan sampel untuk tujuan spesifik (purposive sampling). Dalam
sebuah populasi, tergambar 3 bagian yang biasa terdapat di dalamnya, yaitu
area mainstream dan extreme kanan dan extreme kiri. Area mainstream
menggambarkan perilaku masyarakat pada umumnya, sedangkan area extreme
menggambarkan perilaku masyarakat yang sangat berbeda, lebih spesifik, dan
hanya sedikit orang yang melakukannya. Hal ini kemudian yang menjadi dasar
mengapa pengambilan sampel menyasar bagian dari populasi pada area extreme,
karena jika mereka yang berada pada area extreme memiliki kebutuhan spesifik
akan sesuatu, maka biasanya hal tersebut mewakili kebutuhan populasi yang
lebih luas (d.school, Bootleg Deck, 2018). 2.
Pembuatan
Rumusan Pertanyaan Pada langkah ini, mahasiswa
mengejawantahkan seluruh asumsi terhadap masalah yang ingin divalidasi,
ataupun seluruh pertanyaan yang ingin diketahui jawabannya. Tekniknya melalui
Diverge (menuliskan semua pertanyaan yang muncul di benak kita), Converge
(mengelompokan pertanyaan yang serupa/satu tema), menyusun pertanyaan dalam sebuah
alur wawancara. 3.
In-dept
Interview (IDI) Langkah ketiga adalah melakukan
IDI atau melakukan wawancara. Dlam kegiatan ini, sasaran wawancara adalah
peserta didik, karena tujuan proses ini adalah untuk mengetahui media yang
tepat yang sesuai dengan keinginan peserta didik. Untuk dapat membangun
pemahaman terhadap subjek melalui IDI, mahasiswa akan menggali lebih banyak
terkait pikiran, perasaan, perilaku, kebutuhan dan motivasi subjek pada sesi
wawancara. 4.
Pengolahan
dan Analisis Data Langkah ini mengajak mahasiswa
untuk mengumpulkan seluruh temuan yang didokumentasikan dengan detail dan
menyeluruh. Pengalaman yang dilakukan adalah menggunakan wawancara dan
catatan penting hasil pengamatan. Pengolahan dan analisis data menerapkan
prinsip divergen-konvergen. Topik 3. Fase Define: Menggunakan
Teknik Design Thinking untuk Perumusan Tujuan Materi yang dipelajari pada topik ini adlaah bagaimana dapat menemukan masalah belajar yang dialami peserta didik melalui pengamatan dan wawancara. Fase ini bertujuan membangun pemahaman empatik terhadap permasalahan yang dihadapi pengguna. Pada fase ini seorang perancang perlu melakukan sintesis dari hasil temuannya di fase Emphatize. Pengalaman selanjutnya yaitu menuliskan seluruh design challenge yang telah dibuat. Dari banyaknya design challenge kemudian dipilih satu yang paling sesuai dengan kebutuhan spesifik pengguna/peserta didik sasaran. Topik 4. Fase Ideate: Melahirkan
Gagasan Inovatif untuk Rancangan Pembelajaran Pengalaman belajar pada topik ini
yaitu tentang bagaimana mengeksplorasi berbagai alternatif ide radikal yang
dapat menjadi solusi sebuah masalah. Melalui hasil wawancara pada fase IDI,
kemudian dibuatlah beberapa design challenge, lalu dibentuklah beberpa produk
yang merupakan sebuah ide untuk memecahkan masalah dari design challenge. Mahasiswa diminta untuk merancang
berbagai media pembelajaran. Media pembelajaran dirancang untuk menjawab
design challenge yang telah dipilih. Beberapa media disiapkan dalam berbagai
bentuk. Seluruh ide media diletakkan pada sebuah bagan atau template yang
telah disediakan. Topik 5. Fase Prototyping dan
Testing: Mengembangkan dan Menguji Coba Rancangan Pembelajaran Pada topik
ini mahasiswa dapat menghasilkan satu karya berupa rancangan media
pembelajaran yang dikembangkan dengan kerangka Design Thinking. Pada bagian
ini pengembangan prototipe adalah bagian integral dari Design Thinking dan
rancangan yang berpusat pada pengguna, karena prototipe memungkinkan kita
menguji ide-ide serta memperbaikinya dalam waktu singkat. Prototipe adalah
model sederhana dari sebuah solusi. Prototipe dipergunakan untuk
menguji/validasi ide, asumsi, dan aspek-aspek lain dari sebuah konsep dengan
cepat serta murah, sehingga perancang dapat melakukan perbaikan lebih awal
atau mengubah arah rancangan jika dirasa perlu. Prototipe dibuat berdasarkan
media yang telah dipilih untuk menjawab design challenge. Topik 6.
Peluang dan Tantangan Penerapan Design Thinking di Sekolah Pada topik
ini mahasiswa mempelajari tentang potensi yang menghambat dalam menerapkan
Design Thinking di sekolah dan potensi yang memudahkan/mendukung dalam
menerapkan Design Thinking di sekolah. Melalui instrument emphatize : 5 Why
dan Pain Points mahasiswa melakukan wawancara di sekolah untuk mengetahui
tentang penerapan DT di sekolah, apa yang mengambat dan apa yang mendukung
dalam menerapkan. Mahasiswa
membuat sebuah instrument untuk wawancara mendalam dengan guru. Pertanyaaan
diajukan untuk mencari tahu apa pendapat guru tentang peluang dan tantangan
menerapkan DT di sekolah. Mahasiswa melakukan wawancara dengan memberikan
pertanyaan 5 Why kepada guru. Wawancara diawali dengan perkenalan dan
gambaran projek, pertanyaan ringan, pertanyaan kunci dan pertanyaan penutup. Wawancara
yang dilakukan seputas penerapan DT di sekolah dan apakah guru pernah
mendengar, menerapkan serta alasan mengapa memilih menggunakan design
thinking dan bagaimana hambatan serta tantangan dalam penerapannya. |
Refleksi
pengalaman belajar yang dipilih |
Pengalaman belajar yang saya pilih adalah saat membuat
Rancangan Proses Design Thinking yang dimulai dari topik 2 sampai dengan
topik 5. Topik topik tersebut penting untuk dipelajari karena dalam membuat
sebuah rancangan proses Design Thinking dimulai dari fase emphatize yang
dijabarkan pada topik 2 kemudian fase define yang dijelaskan pada topik 3,
fade ideate topik 4 dan fase prototype topik 5. Semua fase ini harus
diterapkan dalam proses pembuatan rancangan Design Thinking. Fase tersebut
tidak harus dilakukan secara berurutan yang artinya dapat dimulai dari fase
manapun. Namun seluruh fase ini merupakan proses belajar bagi perancang.
Penerapan fase-fase Design Thinking ditulis dalam sebuah laporan. Saya mempelajari topik-topik tersebut dengan membuat
rancangan step by step. Racangan yang akan dibuat adalah sebuah media
pembalajaran. Pada setiap pertemuan
dalam perkuliahan. Pada setiap pertemuannya, dimulai dari membuat fase
empathize, yaitu membangun empati. Pada bagian ini perancang membentuk
pemahaman mendalam terhadap karakteristik dan kebutuhan pengguna produknya. Pemahaman tersebut dibentuk
melalui cara-cara empatis seperti bertanya dan mendengarkan, menggali
pengalaman pengguna, serta menempatkan kebutuhan/aspirasi pengguna sebagai
tujuan utama perancangan. Pada fase ini digunakan Teknik in dept interview
dimana metode pengambilan datanya menggunakan prosedur wawancara sehingga
hasil yang didapat benar-benar dapat membangun empati kepada penguna. Saya
memilih kelas 1 sebagai populasi dan sampel. Pada kegiatan ini, saya
menampilkan hasil pengambilan sampel dengan mengidentifikasi minat belajar
peserta didik. Ada yang memiliki minat belajar yang tinggi, sedang dan juga
rendah. Kegiatan dalam fase ini selanjutnya melakukan wawancara
terhadap sampel peserta didik. Dimulai dengan cara perkenalan, memperkenalkan
rojek, membangun kedekatan, memberikan pertanyaan pemancing, mengeksplore
emosi, dan memberikan pertanyaan statement dan yang terakhir tak lupa untuk
mengucapkan terima kasih. Fase kedua yaitu melakukan fase define atau
merumuskan tujuan. Setelah mendapatkan pemahaman mengenai kebutuhan spesifik
pengguna, fase selanjutnya adalah merumuskan tujuan perancangan. Teknik
perumusan tujuan dalam Design Thinking juga menggunakan prinsip
empatis; di mana pengguna dan aspirasi/kebutuhannya dinyatakan secara
spesifik dalam rumusan. Dari hasil pengamatan dan pemahaman karakteristik
serta hasil dari wawancara dengan peserta didik maka ditemukan beberapa hal
penting yang dijadikan sebagai kesimpulan yang akhirnya dapat dirumuskan
design challenge atau beberapa tujuan. Dari 5 tujuan yang dirumuskan, saya
menyimpilkan dan menjadi satu tujuan yang paling sesuai yaitu “Bagaimana kita
bisa membuat media belajar PPKn yang bersifat visual dan menyenangkan agar
peserta didik memiliki minat yang tinggi dalam belajar”. Fase ideate merupakan fase menciptakan solusi. Berangkat dari rumusan
tujuan yang telah dibuat, pada fase ini perancang akan mencipta ide-ide
solusi. Proses mencipta ide dalam Design Thinking dibuat sedemikian
rupa untuk memunculkan sebanyak mungkin ide solusi (baik secara jumlah maupun
variasi). Pada fase ini dibuatlah beberapa rancangan ide-ide solusi yang akan
dijadikan sebagai opsi media pembelajaran dalam pelajaran PPKn dengan materi
Pancasila. Beberapa rancangan media yang akan dibuat diantaranya media
gambar, media PPT/slide, media video, media buku ajar. Fase terakhir yaitu prototype atau mengembangkan
prototipe. Prototipe ini digunakan untuk menguji sehingga perancang dapat
melakukan perbaikan lebih awal atau mengubah arah rancangan jika dirasa
perlu. Prototipe yang saya buat berupa rancangan atau rencana video yang akan
digunakan. Saya memilih media video untuk menjawab fase ideate. Berdasarkan
uji coba dan masukan dari beberapa rekan (terlampir), maka digunakanlah media
video untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan. Di dalam video yang dibuat
terdapat apersepsi, penyampaian materi yang akan dipelajari dan penjelasan
tentang materi yang sedang dipelajari. Strategi yang diimplementasikan dalam mempelajari topik
topik tersebut saya rasa penting bagi saya karena dalam membuat sebuah
rancangan media, saya perlu mempelajari apa masalah yang terjadi pada peserta
didik, merumuskan solusi permasalahan dan kemudian menyusun rancangan. Itulah
yang kemudian dapat saya jadikan sebagai dasar dalam pembauatan media.
Sehingga menurut saya penting bagi guru untuk mempelajari fase fase dalam
design thinking untuk membuat sebuah media pembelajaran. |
Analisis
artefak pembelajaran |
Beerikut bentuk artefak pembelajaran yang telah saya buat, dalam membuat rancangan proses design thinking. https://drive.google.com/file/d/1aAxnKk9ohxDnp4i8-3_9RqF2nd4jUJnR/view?usp=sharing Video pembelajaran : https://youtu.be/0yoyoPqTHJE |
Pembelajaran
bermakna (good practices) |
Pembelajaran bermakna yang saya dapatkan yaitu saya dapat
membuat sebuah media pembelajaran berbasis video menggunakan rancangan proses
design thinking. Saya merumuskan media pembelajaran dengan melalui beberapa
proses yang telah diajarkan. Selain itu melalui wawancara pada fase
empathize, saya juga mendapatkan pelajaran bagaimana karakteristik peserta
didik kelas 1 dan apa yang diminat oleh peserta didik dalam media
pembelajaran. Dengan menyusun beberapa masalah yang saya dapatkan daya
mendapatkan pelajaran untuk merumuskan satu design challenge yang akhirnya
dapat dibuatlah solusi media video untuk menyelesaikan masalah pada peserta
didik. Peserta didik kelas 1 menyukai media bergambar dan bersuara serta
bergerak. Mereka menyukai hal hal yang berbau warna dan music. Dari beberapa
media yang pernah mereka gunakan, mereka banyak yang memilih video karena
dirasa menyenangkan dan tidak mebosankan. Cara saya menggunakan apa yang sudah dipelajari untuk
memperbaiki diri saya sebagai individu dan sebagai guru yaitu saya harus
dapat menerapkan proses Design Thinking ini dalam proses mengajar dan
dalam proses merancang pembelajaran. Saya dapat menggunakan proses Design
Thinking ini untuk menentukan media yang akan saya gunakan dalam mengajar
peserta didik. Sehingga media yang saya buat kelak benar benar sesuai dengan
minat dan karakter peserta didik. Jika saya sudah mengetahui apa minat dan
keinginan peserta didik yaitu berupa video, maka dari situ saya dapat
mengembangkan dengan membuat video video yang bervasiari lainnya. Proses Design Thinking ini juga akan memperbaiki
pembelajaran dalam peserta didik yaitu mereka akan lebi berminat karena
menggunakan media video. Selain itu juga video yang bervariasi akan
menjadikan pembelajaran lebih menyenangkan.
Perubahan yang terjadi pada diri saya yaitu saya lebih
memahami dan mengerti bagaimana proses dalam menentukan media dengan memahami
keinginan, karakteristik dan minat peserta didik. Sedangkan perubahan yang
terjadi pada peserta didik yaitu dapat meningkatkan minat belajar dan membuat
kelas lebih kondusif. Berikut
video yang saya buat https://youtu.be/0yoyoPqTHJE.
Ini merupakan video penjelasan lambang sila ke-3 dan maknanya. Video ini berisikan
gambar gambar dan penjelasan yang dijelaskan oleh guru. Saat pembelajaran
guru memutarkan video untuk memperkuat konsep lambang sila ketiga, tak lupa
guru memberikan gambar gambar untuk memperjelas. Peserta didik menyimak video
yang ditayangkan oleh guru. Peserta didik menyimak dengan baik. Dari proses pembuatan video, didapatkan beberapa hal yang
harus dikembangkan, yaitu video harus dapat lebih menarik seperti gambar
gambar yang disajikan sebaiknya bisa bergerak sehingga membuat peserta didik
lebih tertarik. Kemudian bacaaan dalam video sebaiknya tidak terlalu banyak
karena peserta didik lebih senang mendengarkan dan melihat gambar. |
Komentar
Posting Komentar